Hari-hari ini masih saja kita disuguhi gambaran seolah ada dua sosok Islam: ‘Islam Radikal’ dan ‘Islam Liberal’. Mengikuti dialektika ini umat Islam dibagi menjadi dua: Muslim baik dan Muslim jahat. Gambaran ini merupakan sebuah dialektika yang ditampilkan oleh media massa Barat, sejak 1980an dan terutama pasca ’Teror 9/11’ (2001), lalu munculnaya al Qaeda, Taliban, dan yang termutakhir, ISIS. Umat Islam, setidaknya sebagian, seolah kemudian membenarkan hal itu sebagai sebuah realitas. Akibatnya, setidaknya dalam kesan, berlangsunglah konflik sesama umat Islam sendiri.
Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa dialektika ’Islam fundamental’ atyau Islam Radikal dan ’Islam liberal’ tersebut bukan saja suatu dialektika palsu, tapi bahkan memperlihatkan motif-motif tertentu di baliknya. Dalam kenyataan yang benar, tentu saja, Islam adalah dien yang cuma satu sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, melalui al-Qur’an dan Sunnah-nya. Syahadat, salat, puasa, zakat, dan haji, adalah pilar-pilar Islam yang berada dalam realitas sosial, yang dapat dilakukan hanya dengan dasar legalitas (syariah). Dalam pandangan legal, tentunya tidak ada sesuatu hal yang radikal atau liberal, yang ada hanya yang benar (legal) atau yang salah (ilegal). Berpuasa Ramadhan hanya dapat dilakukan secara benar yaitu sebulan penuh, tidak bisa menjadi radikal, lalu dilakukan dua bulan, misalnya, atau secara liberalistik, menjadi setengah bulan saja.
Motif Ganda
Seperti telah disingggung sebelumnya dilaiektika dua wajah Islam di atas merupakan bagian dari upaya untuk mendefinisikan Muslim, sebagai ’Muslim jahat’ (radikal, teroris), dan ’Muslim baik’ (liberal, moderat). Dalam kenyataannya terorisme yang dilakukan hanya oleh satu-dua pihak yang, walaupun pelakunya Muslim, tidak bisa dikategorikan sebagai (tindakan) Islam. Kata Islam, berakar pada kata salam, yang berarti damai, maka ’Islam Radikal’ adalah sebuah contradictio in terminis. Dalam Islam, tindakan kekerasan, terorisme, apalagi melalui teknik (bom) bunuh diri, merupakan perbuatan ilegal, dan haram hukumnya. Sebab, dalam hukum Islam, untuk ber-jihad pun ada batasan-batasan tertentu, bukan merupakan tindakan individual anarkis, seperti para pelaku bom bunuh diri atau kekerasan lainnya. Sebaliknya Islam liberal, merupakan bagian dari fenomena pembaruan Islam, dengan tujuan untuk mengasimilasikannya dalam ideologi kapitalisme.
Yang sepatutnya dipahami oleh Umat Islam adalah bahwa dialektika dua wajah Islam ini pada akhirnya berimplikasi ganda bagi kaum Muslim, yang keduanya diperlukan bagi keberlangsungan kapitalisme itu sendiri. Pertama, dengan agak menyederhanakan masalah, dapat dikatakan bahwa wajah Islam jahat ditampilkan untuk menimbulkan psikologi ’bersalah dan malu’ di kalangan Muslim. Ini kemudian akan bermuara pada pembenaran bagi kalangan Muslim untuk menjadi ’Muslim baik’. Ini berarti kaum Muslim didorong untuk semakin pragmatis, mengasimilasikan Islam dalam sistem kapitalis, sebagai bayaran dari rasa malu dan bersalah tersebut. Kedua, sasaran sebaliknya yang dibidik dari kalangan ’Muslim jahat’ (radikal, teroris), adalah suatu pembenaran yang teramat kuat bagi kapitalisme untuk secara represif semakin mendesakkan dominasinya.
Untuk dapat lebih memahami strategi dialektika palsu ini penting kiranya dimengerti perkembangan termutakhir dari kapitalisme itu sendiri. Kapitalisme mutakhir telah muncul sebagai kekuatan totaliter, di balik retorika liberalisme. Demokrasi, sebagai front politiknya pun, makin menjadi terminologi kosong dan menunjukkan jati dirinya sebagai bagian dari totalitarianisme tersebut.
Akhir Kapitalisme
Meminjam teori dari Carl Schmitt, pemikir hukum Jerman, kapitalisme akhir dapat dideskripsikan sebagai tercapainya nihilisme, yang bermakna ’dipisahkanya pemerintahan dari lokasi’ (the separation of order and location). Yakni lepasnya otoritas (yang kini berada di tangan kapitalis global) dari lokasi (negara-bangsa demokratis). Lebih lanjut, dengan dominasi kapitalisme global ini, kedaulatan nasional, telah menjadi tidak relevan. Schmitt lebih jauh merumuskan otoritas (kewenangan) sebagai ’pihak yang dapat memutuskan dalam keadaan darurat’ (state of emergency), yang – sebagai konsekuensi dari nihilisme – sepenuhnya di luar domain negara-bangsa.
Nihilisme juga berarti matinya demokrasi. Gambaran tentang telah berakhirnya demokrasi, sebagai paradoks dari paham liberalisme yang mendasarinya, diuraikan dengan gamblang oleh Giorgio Agamben, seorang pemikir Italia. Dengan lugas, ia menyatakan bahwa tujuan akhir dari kekuasaan politik modern bukan lagi kedaulatan negara nasional, melainkan adalah rumah tahanan (concentration camp). Hal ini dapat dikaitkan persis dengan rentetan legalisasi gerakan antiterorisme. Yang kini telah terjadi adalah lengkapnya transisi hukum dari ’keadaan normal ke keadaan darurat’ ini. Kekuasaan totaliter kapitalisme atas kehidupan menjadi sempurna. Seseorang yang disekap dalam sebuah camp adalah seseorang yang kehilangan hak dan dicerabut segala kehormatannya. Ia menjadi bukan-orang (non-person).
Puncak kekuasaan dan kedaulatan politik yang sebenarnya akan terungkap dalam realitas camp konsentrasi ini. Inilah tempat ketika keputusan dengan sesukanya dapat dijatuhkan untuk mengenyahkan hak bicara, hukum, dan ruang gerak seseorang, dan meninggalkannya dalam ’kehidupan telanjang’ (bare life). Semua yang dikatakan oleh Agamben di awal tahun 1990-an ini, kini benar telah terwujudkan, di Guantanamao dan tempat-tempat lain di sudut-sudut ’Negara Dunia’ yang muncul di tengah kita. Bagi Agamben sebuah camp merupakan bagian integral dari eksistensi nomos global (kapitalisme). Dalam camp, kewarganegaraan seseorang, sebagai cermin kedaulatan nasional suatu negara, telah sepenuhnya kehilangan makna. Camp adalah lokasi tanpa otoritas.
Kesejatian Islam
Butir penting dari kaitan dua pengertian di atas – nihilisme dan kedaulatan – dalam konteks realitas saat ini adalah bahwa fenomena global kapitalisme demokratis telah memberikan toleransi atas keadaan darurat yang permanen dan atas fenomena camp. Paradigma ’keamanan total’ kini telah menjadi norma umum sebagai teknik untuk menguasai, menggantikan ’keadaan darurat’ yang semula merupakan tindak perkecualian. Fenomena terorisme, dengan demikian, adalah fenomena yang diperlukan dan menguntungkan kapitalisme itu sendiri. Dalam konteks dialektika palsu di atas, tindakan otoritarian atas nama antiterorisme yang ditampilkan oleh kekuatan kapital saat ini, telah mendapatkan legitimasinya dari suatu ’keadaan darurat’ yang terus-menerus dan kini menjadi permanen, akibat aktivisme ’Muslim jahat’.
Sebaliknya, di sisi lain, penampilan ’Islam moderat, baik’, ditawarkan sebagai jalan keluar atas ’Islam jahat’ tersebut. Kapitalisme, tentu saja, sangat akomodatif terhadap ’wajah kedua Islam’ ini. Sebab, ’Islam moderat’ adalah ’Islam modern’, yang selama lebih dari satu abad ini berhasil mendorong proses asimilasi Islam pada kapitalisme. Bentuk-bentuk keberhasilan dan produk ‘Islam modern’ ini adalah tidak dapat dibedakannya lagi antara yang Islam dan yang bukan Islam.
Kesimpulannya adalah sangat penting bagi umat Islam untuk memastikan kesejatian Islam itu sendiri, sebagaimana diajarkan oleh Rasulallah SAW. Dialektika ’fundamentalime versus liberalisme’ adalah jebakan mematikan. Radikalisme dan liberalisme Islam adalah proyek yang sama dari kapitalisme.
Islam sepatutnya dipandang semata dalam perspektif legal, dalam arti mengikuti ’amal yang dipraktekkann oleh komunitas awal Islam, di Madinah al Munawarah. Islam adalah Islam, tidak radikal, tidak liberal.