Pengetahuan dan pemahaman umat Muslim terhadap maddhab sangat minim. Maka, hilanglah panduan dan jalan untuk menegakkan syariat. Akibatnya Muslim tidak tahu bagaimana metode dan prosedur menjalankan syariat Islam. Berikut adalah penjelasan ringkasnya, tentu dengan banyak penyederhanaan.
Madhhab Hanafi
Madhhab yang pertama dikenal sebagai Madhhab Hanafi yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah an-Nu’man yang hidup di Iraq antara tahun 80 dan 150 Hijriah, walaupun yang dianggap sebagai pendiri madhhab ini adalah dua murid utamanya, Ibrahim an-Nakha’i, dan Imam Abu Yusuf. Ciri utama dari pendekatan Imam Abu Hanifah adalah metode deduktifnya yang dengan sangat kuat mengandalkan penalaran (analogi, qiyas). Pengembangan metode ra’i ini sendiri terjadi dalam konteks tertentu di jamannya, khususnya berkaitan dengan letak geografis Iraq.
Kufah, tempat lahir dan mukim Imam Abu Hanifah, relatif jauh dari Madinah, dan karenanya memiliki akses yang relatif kecil terhadap Sunnah. Hal ini disebabkan karena hanya sedikit Sahabat yang pindah dan mukim di Iraq, meskipun ada dua di antaranya, Ali bin Abi Thalib dan ‘Abdullah bin Mas’ud, yang sangat dekat dengan Rasulallah SAW. Di jaman Imam Abu Hanifah, Kufah telah berkembang sebagai wilayah metropolitan, dengan berbagai warisan budaya dan peradaban dari kepercayaan-kepercayaan besar sebelumnya, khususnya Persia, selain pengaruh filsafat Yunani, dan Kristen Syria. Akibatnya di Iraq telah terjadi berbagai percampuran kepercayaan dan budaya yang acap menimbulkan kerancuan. Tidak mengherankan, di Iraq pula mulai tumbuhnya berbagai aliran politik dan keagamaan, yang berbeda dari yang ada di Madinah. Untuk mendapatkan informasi yang benar, seseorang akan mendatangi seorang Sahabat dan bertanya, dan kemudian akan mereka dapatkan satu pendapat dari satu orang, dan jadilah sebentuk pendapat, fatwa ataupun hadis. Di lingkungan seperti inilah banyak hadis juga mulai terlupakan, bahkan dipalsukan.
Dengan kata lain situasi di Kufah, dan Iraq umumnya, di masa Imam Abu Hanifah sangat berbeda dengan situasi di Madinah, saat Rasulaallah SAW mendirikan dan mewariskan Islam. Hanya sedikit Sunnah yang secara langsung dapat ditemukan di Iraq ketika itu. Karena itu, seperti telah disebut di atas, Imam Abu Hanifah mengembangkan metode deduktif dengan penalaran, sesuai dengan situasi baru yang ditemuinya. Maka metode Hanafi dikenal juga sebagai metode pendapat atau ra’i, dengan teknik analogi (qiyas).
Metode Hanafi dengan ketat diterapkan dengan cara menelaah alasan-alasan di belakang setiap penilaian, memeriksa maksud dan makna di balik setiap pernyataan, dan kemudian menerapkannya melalui analogi untuk menilai suatu situasi baru yang setiap kali dihadapi. Ciri lain dari metode Hanafi adalah ia diterapkan bukan saja pada sesuatu yang secara faktual telah terjadi tetapi juga untuk hal-hal, atau persoalan-persoalan, yang sifatnya hipotetis. Hal ini menjelaskan kecocokan antara metoda Hanafi dengan perkembangan dan pertumbuhan daulah-daulah Islam, sejak Bani Abbassiyah, dan terutama Daulah Utsmani di Turki dan Moghul di India, yang terus menghadapi situasi baru. Untuk menerapkan metode Hanafi, tentu saja, seseorang harus memiliki pengetahuan yang mumpuni akan sumber-sumber hukum, kesalehan, dan integritas tinggi, sebagaimana ditunjukkan pada diri Imam Abu Hanifah sendiri. Bukan semata-mata lantas sekadar mengandalkan kekuataan nalar.
Madhhab Maliki
Madhhab yang kedua adalah Madhhab Maliki sesuai dengan nama yang dirujuk sebagai pendirinya Imam Malik bin Anas yang hidup di Madinah dari 93 sampai 179 Hijriah. Berbeda dari metode Hanafi yang mengandalkan pada penalaran melalui deduksi Imam Malik hampir sepenuhnya mendasarkan diri kepada perilaku dan pengalaman hidup yang dilestarikan oleh tiga generasi pertama, yakni para Sahabat, Tabi’un dan Tabi’it-Tabi’un, sebagai tradisi yang tak berubah-ubah. Maka, metode Maliki, juga dikenal sebagai madhhab ‘amal ahlul Madinah (’amal Penduduk Madinah), yang akan diuraikan secara lebih detil lagi di bawah nanti. Imam Malik merekam semua perilaku dalam tradisi ini terutama dalam kitabnya al Muwatta.
Hal pokok terpenting dari Metode Maliki, adalah pembedaan secara jelas atas dua istilah, sunnah dan hadis. Istilah yang pertama, sunnah, adalah praktek dan perilaku yang diteruskan turun-temurun tanpa putus, sedangkan hadis adalah pernyataan (tertulis), yang merupakan bukti-bukti tekstual. Pemahaman akan perbedaan dua istilah ini sangat penting sebab, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini, sebagai akibat dari pengembangan metode tekstual oleh salah satu murid Imam Malik, yakni Imam Syafi’i, pengertian keduanya belakangan menjadi kabur.
Penerapan dengan sangat ketat dan kaku atas persyaratan akan bukti-bukti tekstual pada suatu tindakan telah menyebabkan sunnah semakin hari semakin dipahami sama dengan hadis. Selain itu Imam Malik juga mengganggap ’amal, yakni perilaku para Sahabat dan Pengikutnya, memiliki otoritas sebagai sumber hukum. Salah satu argumen Imam Malik adalah ’amal merupakan perilaku yang diwariskan secara mutawatir, sedangkan hadis kebanyakan diriwayatkan secara tunggal (ahad).
Di sini disebutkan sedikit penjelasan Imam Malik tentang keunggulan ’amal dibanding hadis, sebagaimana dikutip oleh Dutton (1999:44), berikut:
Rasulullah SAW, pulang dari suatu perjalanan ghazwa [ekspedisi militer, pen] bersama ribuan Sahabat. Sekitar 10.000 dari mereka wafat di Madinah, dan sisanya berpencar di berbagai tempat. Maka, mana yang lebih patut dipilih untuk diikuti dan pendapatnya (qawl) diterima, mereka yang menyertai Rasulullah SAW, dan di antara para Sahabat yang wafat yang baru saya sebutkan, ataukah di antara para Sahabat Rasulullah SAW, yang satu atau dua [maksudnya dari jumlah yang sedikit yang menyebar keluar Madinah, pen], yang meninggal?
Madhhab Syafi’i
Madhhab ketiga adalah Madhhab Syafi’i, yang dikembangkan oleh salah satu murid terbaik Imam Malik, Muhammad bin Idris Ash-Syafi’i. Imam Syafi’i lahir di Mekah, dan hidup antara 150 dan 204 Hijriah. Imam Syafi’i adalah seorang syarif, satu keturunan dengan Nabi Muhammad SAW, dari garis ayah, ke atas sampai ke Bani Hasyim dari suku Quraish. Karakter utama metode Syafi’i adalah ketatnya penerapan bukti-bukti verbal (yang belakangan kemudian tertulis), dus bukti tekstual, untuk mendukung setiap penilaian hukum yang dibuatnya. Sistem yang standar ini telah melahirkan suatu cara baru penilaian hukum, yang kemudian kita kenal sebagai Usul Fikih, di samping kebiasaan baru berupa pengumpulan dan pengembangan ilmu hadis.
Berbeda dari Imam Abu Hanifah dan Imam Malik yang menetap di suatu tempat, masing-masing di Kufah dan Madinah, dan hampr tidak pernah bepergian, Imam Syafi’i banyak melakukan perjalanan dan berpindah tempat bermukim. Ia pernah mukim di Mekah, di Madinah, di Syria, di Kufah, dan terakhir di Mesir, sampai meninggalnya di kota Fustat, bulan Rajab 2004, pada usia 54 tahun. Imam Syafi’i belajar Islam dari berbagai sumber yang berbeda, baik dari pengikut Imam Hanifah maupun Imam Malik. Dengan sendirinya Imam Syafi’i menemui fakta-fakta adanya perbedaan penilaian hukum pada berbagai masalah yang sebenarnya hampir sama di tempat yang berbeda-beda. Karenanya ia khawatir tanpa suatu metodologi yang standar ada risiko dan kemungkinan Islam akan menjadi berbeda-beda di tempat yang berbeda, dan berubah dari ajaran aslinya.
Dengan latar belakang inilah, Imam Syafi’i mengembangkan metodologi baru dengan menekankan pemeriksaan bukti-bukti pernyataan verbal tertulis, sebelum sampai pada pengambilan keputusan hukum. Kecuali didukung dengan bukti tertulis laporan verbal yang kuat dan sahih, berupa hadis, madhhab Syafi’i tidak akan menerima suatu pendapat untuk keperluan pengambilan keputusan hukum. Metode tekstual ini dikembangkan Imam Syafi’i berdasarkan metodologi serupa yang diambilnya dari salah satu Sahabat, Ibn ’Abbas, yang dalam menganalisis dan menjelaskan al-Qur’an, menggunakan cara tekstual atas ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri. Karena pendekatan tekstual ini menjadi sangat perlu untuk mengumpulkan, menelaah, dan memilah-milah, hadis untuk memastikan kesahihannya. Dari sinilah kita mewarisi kumpulan ribuan hadis dan ilmu tentangnya, yang hampir semuanya dilakukan oleh para pengikut Imam Syafi’i.
Madhhab Hanbali
Madhhab keempat dikenal sebagi Madhhab Hanbali, dari Imam Ahmad ibn Hambal yang hidup antara 164-241 Hijriah. Menurut kebanyakan ulama Imam Ibn Hanbal bukan termasuk seorang faqih tetapi seorang ahli hadis, muhadis, walaupun ia bukan sama sekali tidak mengerti fikih. Yang ia lakukan bagi generasi sesudahnya memang bukan suatu penyusunan metode yang khas dan berbeda dari metode-metode yang telah disebutkan di atas, melainkan suatu pengumpulan hadis dalam jumlah yang sangat kaya, Musnad. Berbeda dari Imam Malik dan Imam Syafi’i, Imam Ahmad tidak meninggalkan satu buku fikih pun, walaupun beberapa muridnya ada yang kemudian mengumpulkan sejumlah fatwa darinya. Imam Ahmad sendiri melarang suatu pencatatan kecuali berupa hadis-hadis.
Imam Ahmad dikenal akan kesalehan dan keistiqahamannya. Ia hidup dengan sangat sederhana, bahkan termasuk miskin, tapi tidak pernah meminta atau mau menerima bantuan. Ia hanya akan menerima sesuatu sebagai imbalan atas hasil kerja. Terhadap penguasa ia tetap independen, meski harus menghadapi beragam cobaan, termasuk siksaan secara fisik, karena berbeda pendapat. Ia, berbeda dari Imam Malik dan Imam Syafi’i, tidak membenarkan seorang ulama menerima imbalan dari penguasa. Sikap ini sama dengan sikap Imam Abu Hanifa, walaupun baginya menjadi sangat berat, karena Imam Abu Hanifa, sebagai seorang pedagang, termasuk sejahtera hidupnya. Selama hidupnya Imam Ahmad telah lima kali naik haji, tiga kali di antaranya dengan berjalan kaki.
Situasi yang dihadapi Imam Ahmad semasa hidupnya sangat berbeda dari lingkungan asal Islam, yakni Madinah, karena ia hidup di Baghdad, Irak. Di sini, ketika itu, Islam telah mendapat pengaruh dari berbagai elemen dan budaya dari kota kosmopolitan tersebut. Dengan maksud untuk mencegah penyimpangan lebih jauh Imam Ahmad berupaya mendapatkan gambaran lengkap dan sedetil mungkin tentang kehidupan komunitas awal di Madinah. Ia mengabdikan hidupnya untuk mengumpulkan sebanyak mungkin laporan dan riwayat hadis. Secara metodologis Imam Ahmad mengikuti pendekatan tekstual dari Imam Syafi’i. Sebenarnya, Imam Ahmad dinisbatkan sebagai pendiri Madhhab Hanbali oleh murid-muridnya, sesudah beliau wafat.
Kerancuan Madhhab
Akibat dari sikap taken for granted atas madhhab yang diikuti saat ini, kebanyakan kaum Muslimin saat ini tidak mengikutinya secara taat azas, atau bahkan secara sadar menyimpang darinya. Peyimpangan atas metode-metode dalam fikih ini terutama dilakukan oleh kaum Islam modernis yang dengan liberal mengambil keputusan hukum tanpa mengikuti kaidah dan sistem yang melekat padanya. Kaum modernis yang mengklaim berijtihad, tapi tak jarang sekadar mengambil pendekataan talfiq ini, oleh Haji Bewley disebut sebagai ’deviant Hanafi’.
Di sisi yang lain ada sebagian kaum Muslim lainnya, yang menyebut dirinya sebagai kaum ’Salafi’, dan mengklaim sepenuhnya ’kembali ke sumber Islam’, tapi yang sebenarnya dilakukan adalah merujuk kembali semata-mata hanya kepada koleksi hadis. Dengan koleksi hadis ini kemudian mereka memberikan penilaian hukum atas sesuatu dengan cara sangat literal, dan mengabaikan makna kontekstual dari teks hadis tersebut., dan dengan serta merta mengabaikan usul fikih. Haji Bewley menyebutkan kecenderungan ini sebagai ’neo-Syafi’i’.
Ringkasnya, kedua kelompok ini melakukan penilaian hukum dengan cara yang mendekati salah satu dari dua metode di atas, Metoda Ra’i dan Metode Tekstual, tapi tidak disertai dengan persyaratan dan prosedur yang harus dipenuhinya. Di satu sisi mereka lebih bertujuan pragmatis, demi mendapatkan keputusan hukum atas berbagai situasi saat ini, dengan mengkompromikan Islam dan mengabaikan sejumlah ketentuan dasar dalam syariah. Di sisi lain demi mempertahankan arti literal suatu teks hadis diinterpretasikan secara kaku dan acap di luar konteks.
Dalam hal metode Maliki, menurut Bewley, juga bukan bebas dari penyimpangan, tetapi dalam bentuk yang agak berbeda. Sebagaimana sudah disinggung di atas ciri khas pembeda metode Imam Malik adalah pentransferannya melalui transmisi langsung dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian, dalam praktek sehari-hari, sesungguhnya dengan cara inilah mayoritas umat Islam mengambil Islam. Mereka mempelajari praktek Islam dari keluarga dan komunitas Muslim di sekitar tempat hidupnya. Hal ini tidak bermasalah sejauh umat Islam secara jelas mengikuti parameter-parameter sebagaimana ditetapkan oleh salah satu empat madhhab yang telah disebutkan di atas. Yang jadi masalah adalah, bila metode Maliki diambil, untuk hal-hal yang bercampuraduk dengan sesuatu yang di luar Islam, seperti adat-istiadat, kebiasaan, dan budaya lokal, yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Persoalan mendasarnya adalah yang sedang terjadi di zaman sekarang ini, madhhab tidak lagi berfungsi sebagaimana asal-muasal madhhab ini dibentuk, yakni diterapkan bukan sekadar sebagai metodologi pengambilan keputusan hukum. Yang disebut sebagai madhhab bagi kebanyakan umat Islam saat ini hanyalah semata-mata menjadi sekumpulan keputusan hukum, kompilasi aturan-aturan, yang mencakup beragam aspek kehidupan dan ibadah umat Islam yang statis. Mengikuti suatu madhhab lantas sekadar menjadi suatu kebiasaan berdasarkan lokasi geografis tempat kelahiran seseorang, seperti sudah dikatakan di atas: mereka yang lahir di Indonesia otomatis mengikuti Madhhab Syafi’i, yang lahir di Turki dan India mengikuti Madhhab Hanafi, dan yang lahir di Maroko mengikuti Madhhab Maliki.
Hal ini, tidak diragukan, telah memberikan akibat positif bagi umat Islam di seluruh dunia untuk melindungi Islam itu sendiri, dan berdasarkan masing-masing madhhab menjaga keutuhan ajaran masing-masing melalui transmisi yang tidak putus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Akan tetapi, sebagaimana dikatakan oleh Haji Bewley (2005), kenyataan ini bukan tidak mengandung masalah. Hal ini, menurutnya, cenderung memberi kesan bahwa segalanya masih dalam keadaan baik, bahwa situasi umat Islam saat ini masih dapat disetarakan dengan di masa lalu, ketika Islam masih merupakan realitas sosial politik. Hal ini jelas tidak terjadi, sebab al-Qur’an dan Sunnah saat ini tidak dilihat, terutama, sebagai sumber tata pemerintahan. Akibatnya madhhab pun menjadi rancu satu sama lainnya, karena tidak terkait dengan suatu amr, atau otoritas yang membuatnya relevan dalam kehidupan umat.
Peran madhhab yang bukan semata sebagai suatu pendekatan pengambilan keputusan hukum ditunjukkan dan dijelaskan secara luas oleh Syekh Abdalqadir dalam bukunya Root Islamic Education. Tiap madhhab menghasilkan suatu realitas politik tertentu. Penerapan madhhab Hanafi, misalnya, menghasilkan realitas politik elitis, birokratik dan legalistik, sebagaimana ditunjukkan dalam fenomena Kerajaan Mogul dan Utsmani. Sementara madhhab Maliki menghasilkan suatu dinamika antara otoritas politik di satu sisi, Amir, dan otoritas yudikatif di sisi lain, para Fuqaha. Hal ini menghasilkan suatu proses perimbangan kekuasaan antara entitas politik, Amirat di satu sisi, dan pengendalian atas dasar syariah oleh Fuqaha di sisi lain. Ketika dinamika keduanya, demi menjaga berlangsungnya rule of law, tidak lagi berfungsi, maka para subyek (umat Isam) mengemban suatu tanggung jawab untuk melakukan hijrah ke tempat lain, untuk kembali berupaya menegakkan dinamika nomokrasi ini.
Sebaliknya, dengan ditinggalkannya sama sekali madhhab saat ini, menghasilan suatu realitas politik tertentu bagi umat Islam. Mencampakkan madhhab berarti mencampakkan pengampilan keputusan hukum, pelaksanaan keputusan hukum tersebut, dan otoritas politik di atasnya, sekaligus. Modernisme Islam, sebagaimana telah ditunjukkan sebelumnya, mencampakkan madhhab dan sebagai gantinya mengajarkan konsep ’negara Islam’, yang tak lain adalah sistem negara fiskal produk Revolusi Perancis. Modernisasai Islam kemudian mencapai penuntasannya dengan diislamisasinya kapitalisme itu sendiri. Struktur negara fiskal, beserta seluruh perangkat kapitalisnya, merupakan praktek yang asing dalam perjalanan panjang sejarah politik Islam.
Dalam gambaran Shaykh Abdalhaq Bewley situasi umat Islam saat ini adalah sebagai berikut:
Tidak ada satu tempat pun di muka bumi ini dien Allah sedang dipraktekkan dengan sepenuhnya kecuali secara terfragmentasi. Ketentuan hudud dengan sepenuh tujuan dan kesengajaan ditolak dan diganti dengan berbagai undang-undang kriminal buatan manusia. Sebagian besar aspek personal dan sosial dari dien, bahkan di tempat-tempat yang mengklaim menerapkannya, dalam kenyatannya telah dicairkan dan dikompromikan agar sesuai dengan modalitas hukum Barat.
Dalam hal aspek ekonomi dan finansial dari Syariah, telah sepenuhnya dibuang, demi sistem ekonomi kapitalis berdasarkan riba produk Eropa pasca-reformasi yang sejak semula dipakai untuk menghancurkan Dar al-Islam.