Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh tipu daya. Para pendusta dipercaya sedangkan orang jujur dianggap berdusta. Pengkhianat diberi amanah sedangkan orang yang amanat dituduh khianat. Dan pada saat itu, para Ruwaibidhah mulai angkat bicara.”
Atas pernyataan Rasul SAW itu seorang Shabat bertanya: “Siapa itu Ruwaibidhah?’
Nabi SAW menjawab, “Orang dungu yang berbicara tentang urusan orang banyak.”
Ya, mereka adalah orang dungu yang mengurusi kepentingan umum, menjadi para pejabat, dan politisi yang menduduki posisi-posisi publik, sebagai anggota DPR dan DPRD, aparat penegak hukum, majelis-majelis tinggi negara, dan sebagainya.
Tidakkah hal itu yang kita alami hari ini? Di masa kita hidup inilah kaum Ruwaibidhah, orang-orang dungu tapi berkuasa, berkeliaran di tengah masyarakat. Yang menjadi pertanyaan adalah dari manakah datangnya kaum dungu-berkuasa ini, dan bagimana mungkin mereka muncul di atas kebanyakan orang, termasuk mereka yang lebih baik, lebih cerdas, dan lebih layak memimpin masyarakat?
Kita hampir tidak pernah mendapatkan penjelasan yang gamblang soal ini. Dari sedikit penjelasan terang-benderang ini diberikan oleh seorang ulama Skotlandia, Shaykh Dr Abdalqadir as Sufi, dalam berbagai tulisan yang kini terbit sebagai buku berjudul Melucuti Politisi ini. Kemunculan orang-orang dungu-berkuasa ini, menurut Shaykh Abdalqadir as Sufi, tidak lain karena sistem politik yang berlaku hari ini: demokrasi. Pemilu yang dirancang sebagai alat melahirkan para pemimpin terbukti menjadi jalur munculnya orang-orang yang justru paling tidak layak, mengambang dari lapis terbawah masyarakat.
Maka, dalam sistem demokrasi kita dipimpin oleh kelas politisi yang bermunculan dari lapis bawah masyarakat itu, bukan dari lapis terbaiknya yang layak memimpin. Cobalah kita perhatikan selama Era Reformasi dan sesudahnya yang sangat mengelu-elukan demokrasi ini. Ruang publik kita penuh sesak dengan seribu satu wajah orang-orang yang hendak bertarung berebutan kursi kekuasaan. Gambar mereka terpampang di poster dan sepanduk yang digantung di dinding-dinding tembok, pada batang-batang pohon dan tiang-tiang listrik di tepi jalan, serta berkibar-kibar di baliho dan bendera. Mereka muncul seperti laron di musim hujan yang, dengan sekonyong-konyong, menyeruak berseliweran di muka kita.
Para wanitanya ada yang tampil modis, ada yang berkerudung asal menempel di kepala, walau ada juga yang sungguh-sungguh berjilbab rapat. Sedang prianya ada yang berjas-berdasi laiknya pengusaha, atau berbaju koko agar berkesan saleh, sampai yang berkostum teluk belanga, lengkap dengan peci dan bros di dada. Semuanya memohon doa restu, meminta dukungan, dan mengharap dipilih oleh rakyat.
Namun, kecuali segelintir tokoh teras partai politik dan selebriti populer lainnya, masyarakat tak mengenali mereka. Kita juga tidak mengetahui rekaman jejak, prestasi, kompetensi, serta keterlibatan mereka dalam kegiatan masyarakat sebelumnya. Reputasi mereka di masa lalu, bagi kita umumnya, gelap gulita. Tidak sedikit malah dikenal dengan rekam jejak tidak baik, sampai derajat kurang bermoral.
Lantas apa yang mendasari mereka berani menawarkan diri, dan sebaliknya bagi masyarakat untuk memilih mereka, sebagai wakil rakyat dan pejabat? Agaknya cuma satu, yaitu klaim. Bersamaan dengan kesekonyong-konyongan kemunculan mereka itulah klaim para politisi dadakan ini bertaburan: “memperjuangkan rakyat”, “bersih dan peduli”, “membela dan memberdayakan wanita”, “mengupayakan sembako murah”, dan seribu satu janji lainnya. Seribu satu orang dengan seribu satu janji tanpa ada perbedaan hakiki. Tak heran George Bernard Shaw, dengan jernihnya, mendefinisikan demokrasi sebagai ‘anybody chosen by every body’. Asal dipilih, asal disukai oleh orang banyak.
Dalam demokrasi agaknya memang tak diperlukan ideologi, bahkan sekadar idealisme untuk mewakili kepentingan umum. Demokrasi telah menjadikan politisi sebagai profesi yang, seperti profesi lain, tujuannya hanyalah mencari sesuap nasi. Kampanye politik karena itu tak ubahnya sebagai investasi yang, celakanya, bukan saja menjadi semakin tidak murah, tapi tak selalu membawa untung. Kalau dikalkulasikan kebutuhan modal yang diperlukan seorang caleg untuk meraih posisi yang dicarinya, dibandingkan dengan total pendapatan resmi yang bakal diperoleh selama ia menjadi anggota DPR atau DPRD, kebanyakan tidak masuk hitungan.
Biaya berpolitik saat ini menjadi begitu besar karena keharusan memanipulasi citra diri melalui aneka cara, khususnya melalui media massa dan media luar ruang, yang tarifnya bahkan lebih mahal dari keperluan ”bisnis biasa”. Industri media massa memahami benar keperluan para politisi ini hingga diskon tarif iklan yang biasa diberikan untuk iklan komersial tak pernah diberikan untuk iklan politik. Belum lagi ”biaya politik” yang terus-menerus harus dibayar oleh para politisi ini selama kiprah politiknya di kemudian hari selama menjabat sebagai wakil rakyat. Ditambah lagi setoran uang imbal jasa kepada partai politik, yang wajib diberikan, karena telah memberinya kuda tunggangan. Maklum, sejatinya, para politisi profesional ini memang bukan siapa-siapa: anybody, nobody.
Hitung punya hitung, kalau dikalkulasi secara benar, rasio cost and benefit investasi para politisi itu hasilnya bakal tekor. Lantas dari mana menombokinya? Kita semua tahu dalam jagad politik banyak cek maupun uang tunai yang berseliweran di kolong-kolong meja para politisi profesional ini, yang akhirnya menjadi sumber pemasukan tambahan. Karena itu, dalam demokrasi, mungkinkah kita menghindari mediokrasi dan korupsi? Demorkasi adalah korupsi!
Begitulah demokrasi: tiada kebebasan memilih, apalagi dengan dasar akal sehat dan hati nurani. Proses demokrasi bukan sekadar seperti orang membeli kucing dalam karung, ia menghadapkan kita pada sebuah adbsurditas. Kepada sistem medioker dan korup inilah kita serahkan sepenuhnya nasib hidup seluruh bangsa. Itulah sebabnya Friedrich Nietzsche, sang pendendang Sabda Zarathustra, jauh-jauh hari sudah mewanti-wanti bahwa demokrasi hanyalah sistem yang benar-benar cocok bagi bangsa sontoloyo.
Demokrasi, bagi Nietzsche, adalah suatu gejala yang menunjukkan bahwa suatu masyarakat telah membusuk hingga tak lagi mampu melahirkan pemimpin-pemimpin agung. Lebih jauh ia mengatakan bahwa demokrasi, yang menyamakan semua manusia, bertentangan dengan kodrat alam yang realitasnya membeda-bedakan derajat manusia. Doktrin persamaan hanyalah kebohongan. Bagi Nietzsche kawula adalah kawula, raja adalah raja.
Orang-orang yang layak jadi pemimpin, bagi Nietzsche, hanyalah mereka yang dilahirkan sebagai Ubermensch, Manusia Unggul, yakni manusia yang lebih kuat, lebih cerdas, lebih berani, serta lebih melayani dan mengayomi. Hanya para Kesatrialah (noble) yang memiliki daya panggil kekesatrian sejati (noblesse oblique) yang tak mungkin diperoleh secara instan melalui prosedur asal contreng (anybody chosen by every body) ala demokrasi.
Demokrasi, dalam ungkapan orang Jogyakarta, hanyalah ajang gampangan para Petruk yang hendak jadi Ratu. Demokrasi adalah jalur cepat para kere munggah bale. Dalihnya adalah mekanisme inilah cara kita mendapatkan ’perwakilan rakyat’. Sesungguhnya, tentu saja, tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat mewakili orang lain. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, hanyalah mitos belaka. Setiap orang haruslah mempertanggungjawabkan tindak tanduk dan perbuatannya sendiri-sendiri di hadapan Allah Ta’ala kelak.
Shaykh Abdalqadir dalam buku ini juga menyebutkan para politisi tak lebih hanyalah para kasim yang dikebiri. Bukan dikebiri secara fisik, melainkan dikebiri secara psikis, hingga kehilangan jati diri dan integritas berpolitik, dan hanya mengabdi kepada tuan-tuan besar cukongnya. “Saat ini para bankir menyadari bahwa para politisi bahkan semakin patuh melebihi yang mereka bayangkan. Di saat para politisi menunjukkan kesangatpatuhan mereka dengan menyelamatkan keruntuhan sistem keuangan – para bankir menyerbu.”
Dan kita lihat, setiap kali para politisi dengan sangat patuh terus mengambil utang berbunga guna membiayai diri mereka, dan segala proyek-proyek, yang juga hanya menguntungkan kaum pemodal, dan terus memajaki rakyatnya sendiri, demi memenuhi kewajiban mereka kepada para bankir.
Para politisi tidak peduli rakyat. Mereka hanya peduli tuannya, dan diri sendiri. Itu sebabnya mereka harus dilucuti! Dan demokrasi, mesin yang melahirkan kaum Ruwaibidhah ini, harus direparasi.