Judul buku ini adalah Ekonomi Profetik. Ini diambil dari Prophetic Economy tajuk salah satu bab yang ditulis oleh Imam Abdassamad Clarke, seorang alim dari Norwhich, Inggris. Jadi bukannya dari Prophetic Economics. Maka terjemahan yang tepat seharusnya adalah Perekonomian Profetik. Namun demi efisiensi dan rasa bahasa sengaja digunakan frasa Ekonomi Profetik.
Karenanya istilah “ekonomi” tersebut perlu mendapat penjelasan terlebih dahulu. Terutama karena saat ini terus dipopulerkan istilah “Ekonomi Syariah” atau “Ekonomi Islam” sebagai cabang dari “ilmu ekonomi”. Konon tambahan kata syariat itu untuk menerapkan prinsip-prinsip syariat. Ekonomi syariat diklaim telah menghasilkan produk dan traksaksi yang islami atau halal.
Tapi terminologi ‘ekonomi’ bukanlah sebuah istilah teknis semata. Ekonomi adalah sebuah ideologi. Dalam tataran teknisnya ekonomi adalah kumpulan formula dan aksioma. Dengan dilengkapi asumsi-asumsi tertwntu ekonomi adalah sebuah ideologi, yakni pembenaran dan penerapan riba. Karena itu kata sifat apa pun yang diletakkan di belakang istilah ekonomi, seperti ekonomi kapitalis, ekonomi sosialis, ekonomi kerakyatan, bahkan ekonomi Islam sekalipun, tidak mengubah sedikit pun substansi dasarnya. Ekonomi adalah pemberlakuan riba dalam kehidupan.
Ekonomi aslinya berasal dari dua kata oikos (rumah tangga) dan nomos (aturan). Oleh satu kelompok masyarakat makna dasar ini mereka ubah menjadi “hemat” bukan lagi “aturan rumah tangga”. Hal tersebut diambil dari prinsip ilmu ekonomi yang mereka buat, yaitu “dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya”. Secara populer, di sekolah menengah kita diajari definisi ekonomi seperti ini. Dan bahwa masyarakat adalah agregat atau kumpulan dari keinginan individu-individu. Kehidupan adalah persaingan bebas dengan adagium yang kuat yang akan menang. Suatu pemahaman yang sangat materialistik, egois, dan individualistik.
Belakangan di kalangan promotor ekonomi Islam atau ekonomi syariah diperkenalkan kata dari bahasa Arab al-iqtishadiyyah. Ini juga diberi arti “penghematan”. Pengambilan istilah al-iqtishadiyyah sebagai padanan kata ekonomi ini nampaknya dikaitkan dengan hadits Nabi shalallahualaihi wa sallam yang menyebutkan istilah yang sama. Tetapi, makna kata iqtishad dalam hadits Nabi shalallahu alaihi wa sallam jauh lebih luas dan dalam maknanya. Bukan sebagai penghematan dalam pengertian prinsip ekonomi di atas.
Tidak heran Haji Abdassamad Clarke membuka tulisannya dengan meluruskan makna kata iqtishad ini dengan mengutip dua hadits Nabi shalallahu alaihi wa sallam . Hadits pertama berbunyi: “Siapa pun yang bersikap moderat tidak akan terjerat dalam kemiskinan.” Dan yang kedua “Iqtiṣad adalah setengah dari penghidupan dan karakter yang baik adalah setengah dari dien.” Maka penggunaan istilah-istilah Arab ini merupakan zona konseptual yang berbeda sepenuhnya. Sesuatu yang sama sekali tak ada bagi orang Arab, dan kaum muslimin moderen umumnya.
Dengan ringkas, tetapi padat, penulis di atas kemudian menunjukkan kepada kita pengetahuan dan amal yang telah ada sejak zaman Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Dengan kata lain merupakan sunnah yang telah sampai kepada kita. Sunnah tentang praktek perekonomian dalam masyarakat. Di antaranya, ada dua hal yang sangat menentukan terkait dengan bisnis sejak awal pembentukan Ummah di Madinah al Munawarrah. Pertama, pewahyuan Surat al-Mutaffifin dan yang kedua adalah pendirian pasar, dan diakhiri dengan dua wahyu yang menentukan yang terkait dengan bisnis. Yakni pelarangan riba dan perintah pencatatan atas transaksi utang atau yang tertunda. Di tengah-tengahnya banyak wahyu sehubungan dengan praktik bisnis. Nabi shalallahu alaihi wa sallam sendiri pada banyak kesempatan mengatur sunnah bisnis dan perdagangan, sehingga menggarisbawahi pentingnya perdagangan dan bisnis di dalamnya.
Banyak aspek yang diatur oleh Rasul shalallahu alaihi wa sallam seperti larangan ijon, mencegat pedagang sebelum mencapai pasar, larangan pemilikan pasar secara privat, menyelak dalam lelang, memonopoli, menimbun, serta menentukan harga secara sepihak; dan berbagai aturan lain. Nabi shalallahualaihi wa sallam juga mengatur soal alat tukar dan uang, yang terdiri atas dua jenis, yakni nuqud (dinar emas dan dirham perak) dan fulus (koin tembaga untuk transaksi recehan). Ada lagi aturan yang ditetapkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam yang sangat relevan di zaman kita saat ini, karena umum dipraktekkan baik secara terang-terangan maupun terselubung, yakni dua penjualan dalam satu-transaksi.
Imam Abdassamad dalam hal ini menyatakan: “Signifikansi larangan itu bagi kita adalah bahwa dua penjualan dalam satu merupakan dasar kebanyakan operasi dari bank dan membentuk masyarakat khususnya yang disebut perbankan syariah. Yaitu praktek semacam ini: ‘belilah rumah itu [secara tunai] bagi saya dan saya akan membelinya [secara kredit] dari Anda’. Tapi mereka menyelimuti larangan ini dengan janji sepihak, yang tidak lain hanyalah pengelabuan.” Dan pengelabuan ini, tidak lain, adalah praktek riba.
Riba adalah persoalan pokok perekonomian moderen. Riba semula dikecam, dikutuk dan diharamkan oleh tiga agama besar, yanki Yahudi, Kristen dan Islam, sebagaimana diuraikan secara historis oleh Ammar Fairdous. Ini dalam bab yang berjudul “Memasuki Liang Biawak yang Sama: Sejarah Perbandingan atas Hukum Utang-Piutang dalam Yudaisme dan Kristen.” Tetapi, oleh sebagian pemuka kaum Ahli Kitab, berbagai ketentuan itu diubah menuruti interpretasi baru mereka.
Dalam hal kaum Kristen mereka disesatkan oleh Calvin, seorang tokoh Reformasi Kristen, hingga orang Kristen hari ini memisahkan larangan atas bunga dan riba. Mereka mengadopsi interpretasi teologis yang membedakan, secara teoritis, antara “bunga” dan “riba” tadi. Menurut kaum Kristen moderen bunga bank dapat diterima, sementara riba yaitu bunga yang memberatkan dan berlipatganda tetap haram. Oleh karena itu, pembebanan bunga tidak lagi menjadi persoalan yang hidup bagi kebanyakan orang Kristen di zaman ini, meskipun dalam sebagian besar sejarah mereka riba sangat dikecam dan diharamkan.
Sedangkan Kaum Yahudi menafsirkan ajaran al-kitabiah mereka tentang riba dengan cara yang memungkinkan pengambilan bunga dari orang selain Yahudi. Pada saat yang sama mereka juga mengembangkan beberapa perangkat hukum untuk menghindari larangan pengenaan bunga bahkan dari sesama orang Yahudi. Mereka mengutak-atik hukum, berhilah, mencari-cari celah pembenaran.
Bagaimanakah dengan posisi umat Islam? Tampaknya tidak jauh berbeda. Ammar Fairdous menyimpulkan:
“Meskipun mereka mengaku mematuhi ajaran antiriba mereka, banyak yuris Muslim yang hidup dengan gaji dari industri perbankan Islam telah mengadopsi dan mengadaptasi berbagai instrumen keuangan yang melanggar ruh, bukan pada kata-katanya, dari ajaran-ajaran ini, sama seperti orang Kristen di Abad Pertengahan dan para pendahulu mereka, kaum Yahudi, yang melakukannya.
Sarjana-sarjana Muslim ini banyak dipekerjakan secara langsung di industri finansial, sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah (DPS). Ada juga yang duduk sebagai pimpinan atau anggota Dewan Syariah Nasional, dari Majelis Ulama setempat, yang harusnya merupakan majelis yang mandiri. Tapi dalam prakteknya mereka lebih banyak melayani permintaan penerbitan fatwa tertentu sesuai yang diperlukan oleh industri keuangan tenimbang sebagai majelis ulama yang independen dari kepentingan bisnis dan komersial. Akibatnya:
“Selain itu, banyak transaksi penyembunyian bunga dalam kalangan Kristen dan Yahudi yang identik, sementara yang lain sangat mirip, dengan instrumen keuangan yang dapat ditemukan di perbendaharaan bankir Islam hari ini, tetapi tentu saja, dengan nama-nama Arab dan Islam yang sangat sesuai.”
Tampak jelas bahwa umat Islam dengan mengikuti kaum pembaharuan, gerakan Reformasi versi Islam sendiri, dengan tokoh sentralnya Muhammad Abduh dan Rashid Ridha, telah mengikuti jejak kaum “sebelum mereka”, yakni Ahli Kitab. Mereka telah masuk ke dalam liang biawak riba yang sama. Dan ini telah dikatakan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dalam haditsnya. Umat Islam modern telah mengikuti jejak pendekatan formalistik abad pertengahan terhadap hukum yang berkaitan dengan riba. Menyatakan bahwa riba bukan saja dibolehkan bahkan diperlukan dalam tatanan kehidupan moderen.
Dalam kehidupan zaman ini, yang menjadikan riba sebagai pondasi sistem finansial, riba bukan lagi sekadar menjadi sistem. Riba telah menjadi perilaku. Tentu saja perilaku yang menyimpang dari kehidupan normal. Shaykh Dr Abdalqadir as Sufi menjelaskannya sebagai berikut:
“Riba itu menentang alam…Untuk terus-menerus menjalankan riba adalah kegilaan, itu psikosis – penyakit jiwa. Riba itu sendiri adalah sebuah tipu daya matematik, namun berperilaku ribawi itu sebuah penyakit kejiwaan. Bukan suatu kepandaian. Itu sebentuk kegilaan karena engkau meyakini sesuatu yang engkau tahu tidak benar (palsu) dan itu artinya kegilaan. Bukan karena engkau tidak tahu. Engkau tahu dan engkau terus saja berperilaku demikian.”
Dua bab selanjutnya dari buku ini mengeksplorasi secara luas dan mendalam perkembangan yang terjadi di masyarakat hingga riba menjadi psikosis massa hari ini. Dengan merujuk kepada pemikiran Heidegger, pemikir besar Jerman abad ke-21, Sidi Ibrahim Lawson, mempertanyakan hakekat uang. Ia secara jauh menelusuri asal muasal fungsi dan makna uang, hingga berubah menjadi sepenuhnya alat riba. Ia mengajak pembaca untuk mempersoalkan kembali proses penciptaan uang, peran sejatinya, fungsi dan akibat yang ditimbulkan dalam masyarakat, dan seterusnya.
Dengan mempertanyakan secara mendasar berbagai hal tentang uang, Sidi Ibrahim menyatakan: “Kita akan sampai pada pemahaman yang lebih dalam tentang masalah ini. Kita akan mengikuti uang kembali ke sumber keberadaannya sebagai makna, menemukan cara ia telah dirusak oleh metafisika dan kemudian oleh technik dengan cara yang sama seperti yang lainnya yang ada hari ini.” Zaman ini adalah zaman technik, termasuk uang adalah sebuah technik, yang menggiring cara hidup dan perilaku manusia modern.
“Technik telah menghasilkan atau membawa ke dunia cara berada yang telah membawa dampak menutupi dan menyembunyikan suatu cara keberadaan [eksistensi] manusia yang lebih esensial dan pada dasarnya merupakan cara keberadaan manusia.” Technik telah mengubah semua yang ada sekadar menjadi stok (cadangan), termasuk manusia, termasuk uang. Segala sesuatu kehilangan kesejatian dirinya. Sidi Ibrahim menyatakan:
“Uang hari ini adalah cadangan, tanpa kualitas dirinya-sendiri, hanya sebuah utilitas. Tidak peduli bahan yang membuatnya, ia tidak memiliki realitas, ia hanyalah sesuatu seperti yang Anda pikir itu, dan yang Anda pikirkan adalah yang semua orang pikirkan karena kita semua menonton layar yang sama. Kita tidak berinteraksi sebagai individu yang bebas secara otentik dalam mengontrol sarana evaluasi; kita bereaksi terhadap rangsangan yang sama dengan cara yang sama seperti orang lain. ‘Mereka’ lah yang memegang kendali, dan mereka adalah semua orang dan tidak seorang pun adalah dirinyanya sendiri.”
Masih dalam dataran teoritis, Sidi Abdalhamid Evans, dalam bab selanjutnya membahas kaitan antara uang, kekayaan, dan nafs manusia. Inilah psikologi dan alam kejiwaan manusia moderen. Suatu pendekatan yang selaras dengan pernyataan Shaykh Dr Abdalqadir as Sufi di atas yang menyebutkan bahwa riba adalah psikosis. Sebentuk penyakit jiwa.
Sidi Abdalhamid memulai telaahnya dengan menguraikan berlangsungnya abstraksi uang dalam arti bahwa hari ini uang telah menjadi sepenuhnya abstrak. Hari ini uang tidak memiliki realitas fisik sama sekali dan bahkan telah melewati kenyataan digital. Di sisi lain, Sidi Abdalhamid menemukan suatu kenyataan yang telah terjadi pada manusia moderen, yang ia sebut sebagai kolonisasi diri. Ini bermula dari keadaan pada diri manusia yang mengidap “kecemasan eksistensial” terhadap kenyataan lahir ke dunia tanpa persetujuan.
Dengan telah terabstraksikannya uang, melampauai realitas digitalnya di zaman ini, uang menjadi proyek psikis. Ini mengisi celah dari “kecemasan eksistensial” manusia yang menjadikan uang, atau kekayaan, seolah sebagai jalan keluar atas keadaan di luar diri manusia yang semuanya telah menjelma menjadi komoditas. Dan, dengan sistem riba yang berlaku, komoditas ini menjadi sesuatu yang tak terjangkau dalam kehidupan sehari-hari. Sidi Abdalhamid menjelaskan:
“Diri telah menjadi abstrak dan terbelah, dan uang telah menjadi abstrak dan tidak bernilai, dan sekarang berada di dalam belahan yang ada. Di dalam diri, uang telah menjadi kekuatan psikis yang telah menjajah inti dari makhluk manusia. Di samping itu, di dunia luar kita menemukan bahwa semuanya telah menjadi komoditas, segala sesuatu di dunia luar telah menjadi komoditas. Heidegger mengedepankan gagasan gestell teknologi atau enframing ketika segala sesuatu menjadi cadangan. Segala sesuatu, termasuk manusia, ada untuk dimanfaatkan untuk proyek teknologi.”
Enframing yang sekarang kita hidup di dalamnya tidak lain adalah riba. Di dalamnya semuanya menjadi komoditas, termasuk uang, termasuk kecemasan, rasa takut, bahkan keserakahan, menjadi komoditas dan bisa diperjualbelikan. Sementara tidak ada lagi sesuatu yang benar-bernar bernilai. Uang dan harta hanyalah ide, sesuatu yang abstrak, dan tidak memiliki realitas. Riba adalah manifestasi dari sakit jiwa para pelakunya. Keterbelahan jiwa, ketidaksesuaian antara yang riil dan fantasi. Uang fiat adalah fantasi yang dianggap riil. Bahkan negatifitas (utang berbunga) yang dianggap sebagai positifitas (kekayaan).
Demikian mendasarnya persoalan yang kita hadapi akibat riba. Tentu bukan tidak ada solusi. Pada tingkat personal keretakan di dalam diri, sumber psikosis di atas, haruslah disembuhkan sehingga kekuatan yang disebut oleh Sidi Abdalhamid sebagai “kolonisasi diri” itu akan hilang. Caranya adalah dengan memunculkan yang Riil, hingga ilusi akan musna. Ini adalah wilayah Tauhid dan Taqwa. Sidi Abdalhamid menyatakan:
“Surat al-‘Asr adalah resep yang sangat sederhana. Kita tahu itu, kita membacanya, tetapi jika kita benar-benar menganggapnya sebagai obat, sebagai unsur obat dalam hidup kita, maka itu akan benar-benar menyembuhkan keretakan di dalam diri itu, sehingga kekuatan kolonisasi akan hilang dan yang Riil akan muncul.”
Surat al-Asr menyebutkan orang-orang yang selalu dalam keadaan merugi. Kecuali mereka yang beriman dan bertindak dalam kebajikan dan yang saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Mereka yang istiqomah antara imannya dengan perkataan dan perbuatan. Beriman, mengenali Yang Maha Kuasa, yakni Allah SWT, tempat berserah diri dan Yang Maha Mencukupi. Ini mengenyahkan segala ilusi.
“Si penjajah akan ditendang keluar dan sang diri dapat dengan mudah beralih ke dirinya sendiri dan pada realitas inherent-nya mengenali Tuhan dari diri, tempat kita berserah untuk memiliki hal-hal seperti pemenuhan, keamanan, rezeki, kesenangan, sukacita dan semua hal yang berasal dari transaksi itu. Dalam penyembuhan diri itu, tindakan kita hanya menjadi manifestasi dari yang kita yakini dan yang kita percayai, memungkinkan makna untuk kembali ke hal-hal duniawi.
Dengan itu, maka:
“Diri dapat menjadi diri sendiri, uang dapat menjadi uang, makhluk hanyalah makhluk, bumi adalah bumi, tidak lagi harus didefinisikan dalam enframing dari realitas hutang psikis negatif ini yang entah bagaimana telah mendefinisikan kembali segalanya. Setiap atom, setiap partikel dan getaran sub-atom bagaimanapun telah terdefinisi dalam enframing itu “
Selanjutnya sudah barang tentu kita memerlukan solusi yang praktis dan teknis. Dan ini ada pada wilayah muamalah. Sebagian dasar-dasar pokoknya telah dibahas dalam bab Ekonomi Profetik oleh Imam Abdassamad Clarke yang telah disinggung sedikit di atas. Secara spesifik ia melanjutkan pembahasan tentang uang yang seharusnya memiliki nilai intrinsik, yang di antaranya yang terbaik terbuat dari emas dan perak. Ini dalam bab “Dari Uang Fiat ke Dinar Emas.” Dan kembali kepada uang emas dan uang perak, serta alat tukar berbasis komoditi lainnya, akan membawa kita kepada model Madinah al Munawarah. Model Amal ahlul Madinah. Utamanya pada penerapan muamalah.
Bab penutup buku ini, yang ditulis oleh Dr Riyat Asvad, memberi kita garis besar muamalah yang dimaksud. Yakni yang berdimensi komersial dan bisnis. Jadi di luar urusan pernikahan dan pewarisan harta. Muamalah yang dimaksud adalah yang terkait dengan jual beli, pengaturan pasar, alat tukar dan uang, utang piutang, perdagangan dan usaha komersial dan bisnis.
Dengan tepat Dr Asvad memberi tajuk tulisannya “Muamalah sebagai Jalan Keluar ke Depan.” Dapat kita pertegas lagi di sini bahwa solusi atau jalan keluar kita ke depan ada pada muamalat bukan ekonomi, meski telah dilabeli sebagai ekonomi syariah sekalipun. Dr Asvad membagi tulisannya menjadi tiga bagian: bagian pertama menelaah cara muamalah dipahami dan dipraktekkan pada zaman pra-dan awal-moderen; bagian kedua meneliti hal yang terjadi pada praktik muamalah dalam zaman moderen; dan akhirnya melihat muamalah sebagai jalan ke depan.
Shaykh Umar I Vadillo meringkaskan muamalah dalam lima pilar. Kelimanya adalah:
- Pasar
Pilar pertama yang kini hampir sepenuhnya runtuh adalah pasar, yakni tempat-tempat umum untuk masyarakat berdagang. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam menyatakan bahwa pasar sama dengan masjid, tidak boleh dimiliki secara pribadi, tidak ada sewa, tanpa pajak, dan tidak ada bangunan permanen: terbuka penuh bagi siapa pun. Yang ada di sekeliling kita saat ini, bahkan yang disebut sebagai ”Pasar Tradisional” sekalipun, bukanlah pasar menurut hukum syariat. Bangunan-bangunan permanen tersebut adalah kumpulan kios milik orang-perorang, yang untuk pemilikannya pun dikenai berbagai pajak pula.
Penyelenggaraaan Pasar Muamalah, yang sampai saat ini telah berlangsung lebih dari 200 kali, adalah awal dari upaya pengembalian pasar-pasar terbuka. Pasar Sultan di Kesultanan Bintan Darul masyhur, di kota Tanjung Pinang, yang telah didirikan dan diresmikan oleh Sultan Huzrin Hood pada akhir 2015 lalu, adalah contoh pasar terbuka berbasis wakaf. Pasar Muamalah lain diselenggarakan di Mangku Negeri Tanjungpura Darussalam, Ketapang, sepekan sekali sejak 2016 lalu.
- Dinar dan Dirham
Pilar kedua adalah alat tukar (uang) yang halal. Rasul shalallahu alaihi wa sallam menyebutkan enam jenis alat tukar ini, yakni emas, perak, gandum, barle, kurma, dan garam (dalam riwayat lain disebut kismis). Ringkasnya alat tukar yang halal haruslah berupa komoditi yang umum dipakai sebagai alat jual-beli, yang paling lazim di antaranya adalah uang emas (dinar) dan uang perak (dirham). Tanpa alat tukar berbasis komoditi berbagai transaksi muamalat – khususnya utang-piutang dan jual-beli – tidak dapat berlaku adil, karena bersifat merugikan salah satu pihak.
- Pedagang Kolektif
Pilar ketiga, sesudah pasar dan mata uang, tentu saja, adalah keberadaan para pedagang itu sendiri, baik secara sendiri-sendiri atau berombongan dalam rombongan keliling, dulu dikenal sebagai kafilah-kafilah (karavan). Para pedagang adalah penggerak utama ekonomi, baik dengan modal sendiri, maupun bermitra dengan para investor. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam mengindikasikan bahwa ”9/10 rezeki ada pada perdagangan”. Lagi-lagi, yang kita lihat di sekeliling kita saat ini, bukanlah pedagang dan perdagangan. Mereka adalah ”buruh-buruh lepas” pabrikan, yang diperlakukan sebagai outlet-outlet distribusi produk mereka.
- Paguyuban Produsen
Pilar keempat, ketika pasar telah tersedia dan ramai dikunjungi para pedagang dan pembeli, maka produksi akan tumbuh kembali di tangan masyarakat, melalui syarikat-syarikat (paguyuban/perkongsian) produksi. Dalam syarikat-syarikat produksi (di Eropa dikenal sebagai gilda) inilah bekerja sebagian besar orang sebagai para pemilik atau mitra-pemilik (co-owner). Dalam muamalat posisi majikan-buruh adalah perkecualian belaka, berkebalikan dengan keadaan saat ini, ketika pemilikan adalah perkecualian, dan perburuhan adalah kelaziman.
- Kontrak Bisnis Berkeadilan
Pilar kelima, sebagai konsekuensi dari kembalinya keempat pilar di atas, adalah kontrak-kontrak bisnis dan komersial menurut syariat: qirad (mudharabah), syirkat (perkongsian), muzara’ah (bagi hasil), dan sebagainya. Qirad (mudharabah) adalah kontrak kemitraan usaha dagang, antara pemodal dan agen yang ditunjuknya. Syirkat adalah kemitraan produksi sekunder. Muzara’ah adalah kemitraan produksi primer, seperti dalam pertanian dan perkebunan, di Jawa dikenal dengan istilah Maro.
Dr Asvad menunjukkan bahwa pada masa sebelum dan awal masa moderen, lembaga-lembaga masyarakat Muslim masih utuh dan di dalam lembaga-lembaga ini muamalah dipraktekkan. Dengan berbagai institusi mumalah itulah masyarakat berfungsi. Lima pilar muamalah di atas diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Institusi-institusi muamalah adalah: pasar; hisbah – kantor muhtasib; pengadilan hukum yang memutuskan kontrak bisnis Islami; gilda-gilda; pencetakan koin; dan bait al mal – perbendaharaan kekayaan.
Muamalah adalah pengetahuan yang praktis telah hilang dari umat Islam, karena pengamalannya yang telah lama hilang. Maka saatnya telah tiba untuk kita mengembalikannya dalam amal. Buku ini adalah satu di antara sedikit buku sejenis yang memandu kita.